Soekarno dan Nekolim

Berbicara tentang Sejarah Indonesia terasa kurang lengkap tanpa menyebut nama Soekarno. Peranan Soekarno dalam perjalanan bangsa Indonesia sungguh tak terbantahkan dan sulit dicari tandingannya. Sejak pertengahan tahun 1920-an hingga pertengahan tahun 1960-an, Soekarno menjadi titik pusat dinamika bangsa Indonesia.   Latar belakang yang demikian inilah yang membuat terbentuknya gambaran dan citra diri Soekarno yang istimewa dalam realitas psiko-historis bangsa Indonesia. Soekarno menjadi sosok pemimpin dengan populeritas luar biasa besar di mata rakyatnya, bahkan di mata dunia internasional. Di bawah Presiden Soekarno, Indonesia bercita-cita memimpin front internasional anti imperialis. Ia mengutuk sistem internasional yang berlaku sebagai suatu tatanan yang eksploitatif di mana kekuatan-kekuatan yang sudah mapan (OLDEFOS) berusaha menundukkan kekuatan-kekuatan baru yang sedang muncul (NEFOS). Bantuan dari negara-negara maju, OLDEFOS, dianggap merupakan alat untuk membatasi kemerdekaan NEFOS, karenanya ia memuja kesanggupan berdiri pada kaku sendiri dan mempersetankan bantuan Amerika ( Go to hell with your ).

Menjelang akhir abad ke-19 hampir seluruh benua Asia berada di bawah kekuasaan kolonial. Akan tetapi suatu semangat baru telah memasuki kesadaran  rakyat-rakyat yang terjajah itu – bukan hanya keinginan untuk memperoleh kemerdekaan, tetapi juga kepercayaan bahwa secara moral ini adalah benar dan mungkin dicapai secara fisik. ( Merle Ricklefs, 1986 : 1 ) Dalam autobiografinya, Soekarno menyatakan bahwa kelahirannya bukan hanya fajar permulaan hari yang baru melainkan juga fajar suatu abad yang baru. Dan fajar demikian memang bukan hanya merupakan awal suatu abad yang baru melainkan juga suatu masa baru yang dikemudian hari akan disebut sebagai masanya Soekarno. Hal yang lain yang baru ialah bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda sekitar peralihan abad ke abad berikutnya meninggalkan cara memerintah yang autokrat dan mulai menjalankan Politik Etis. Ini merupakan upaya untuk merangkul jutaan warga patuh di Kepulauan Hindia Belanda ini di bawah payung modernisasi Barat. Upaya ini didasari keyakinan dan visi bahwa apa yang baik dan dinamis di negeri Belanda, misalnya pendidikan dan pembangunan ekonomi, dapat dilaksanakan  dengan hasil yang sama baik di koloni Hindia Timur yang masih belum seluruhnya tercakup di bawah kekuasaan Belanda waktu itu. ( Bob Hering, 2012 : 3- 4 )

Ayah Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo (1869-1945) termasuk golongan bangsawan rendahan Jawa, sebagaimana ditunjukkan oleh gelar “ Raden” yang yang disandangnya dan dengan demikian Soekemi bisa masuk sekolah pendidikan guru (Kweekschool) yang dibuka sekitar tahun 1870 di Probolinggo, Jawa Timur. Jabatan yang pertama sebagai guru, menjelang akhir abad ke-19, adalah di sebuah sekolah pendidikan pegawai negeri bumiputera di Bali. Di sana Soekemi kawin dengan seorang gadis Balai, Ida Ayu Nyoman Rai, dan setelah upacara perkawinan menurut agama Islam dikeluarkan dari kasta Brahmananya. Pada pergantian abad, R Soekemi dipindahkan ke Jawa, di mana anaknya yang kedua, Soekarno lahir pada tanggal 6 Juni 1901.

Sebagai kanak-kanak, kata Bernhard Dahm, Soekarno memasuki kebudayaan tradisional Jawa melalui dunia wayang – yang merupakan sebagian dari kebudayaan tinggi tradisi kraton Jawa sekaligus tradisi pedesaan Jawa. Kon cerita-cerita wayang yang diturunkan dari epos India yaitu Ramayana dan Mahabharata, yang dalam prosesnya tleha dijawakan, intinya berisikan tradisi Jawa, tempat simpanan secara tersembunyi rahasia pengetahuan Jawa mengenai makna kehidupan yang paling dalam.

Soekarno menyerap segi filsafat Jawa ini dari kakek-neneknya di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto, dan menurut keterangan resmi juga dari Wagiman, seorang petani miskin yang tinggal di dekat Mojokerto. Seusai sekolah Soekarno sering duduk-duduk di pondok Wagiman dan mendengarkan cerota-ceritanya tentang para pahlawan perang – tentang Kumbakarna, Arjuna, Gatotkaca, Kresna, Semar yang lucu namun perkasa, tentang Hanoman pemimpin kera dan masih banyak lainnya; masing-masing dengan keunggulannya sendiri, lengkap dengan liku-liku wataknya. Pada kesempatan-kesempatan lain Soekarno termasuk di antara anak-anak yang duduk penuh pesona bersama orang tua mereka, menonton pertunjukan semalaman suntuk dan mendengarkan penuturan dalang mengikuti liku-liku perubahan cerita  – pada tengah malam pahlawan masuk dan pukul tiga dimulainya gara-gara. Menarik bahwa selama menjadi mahasiswa di Surabaya dan Bandung, Soekarno sering mengindentifikasikan dirinya dengan tokoh Bima. Sifat-sifatnya adalah nekad, berani dan jujur, tetapi jelas bukan keramahtamahan. Ia galak, tak kenal kompromi, kasar, memerlukan otoritas yang mapan, dan siap membantah bahkan terhadap dewa-dewa. ( Bernhard Dahm, 1987 : 27 – 33 )

Pendidikan Soekarno menempatkan dia di kalangan atas masyarakat Indonesia : Europese Lagere School (Sekolah Dasar Eropa) dan Hogere Burger School (Sekolah Menengah Belanda, tamat 1921) serta Technische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik). Tahun 1927, ketika Soekarno memulai karir politik, tidak lebih dari 78 orang Indonesia yang mempunyai ijazah HBS. Ini berarti hanya satu di antara 7 juta manusia Indonesia yang memiliki ijazah tersebut. Lebih sedikit lagi jumlah orang-orang Indonesia tamatan universitas seperti Ir Soekarno. Para pemimpin pergerakan nasional kebanyakan berasal dari mereka yang berpendidikan tinggi merupakan suatu elite tersendiri. Mereka saling mengenal, berhubungan erat dan merasa dan merasa setingkat. Mereka bersatu karena adanya jarak yang memisahkan mereka dari rakyat yang buta huruf dan terbelakang.

Selain kedudukan elitis para pemimpin pergerakan, ada juga gangguan terhadap kesadaran sosial pada diri mereka. Dalam hal ini, Soekarno menempati kedudukan yang unik. Soekarno berdiam di rumah HOS  Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam yang kharismatik selama masa HBS-nya. Dengan mudah, Soekarno yang cerdas diperkenalkan kepada kalangan nasionalis, anggota Jong Java dan anggota SI. Sejak tahun 1911, Soekarno telah menerbitkan tulisan-tulisan pertamanya dalam penerbitan-penerbitan nasionalis ; Oetoesan Hindia. Di sana ditulisnya,” Hancurkan segera kapitalisme yang dibantu budaknya imperialisme. Dengan kekuatan Islam, Insya Allah itu segera dilaksanakan”. Berhubungan dengan pertanyaan tentang apa yang akan terjadi bila Indonesia telah merdeka, Soekarno muda menulis,”…apa artinya memerintah sendiri kalau itu dilakukan oleh pengikut-pengikut kapitalisme dan imperialisme? “ Lebih menarik lagi, di masa Soekarno muda ini adalah tindakan-tindakannya. Dalam suatu pertemuan, Jong Java, bagian dari Budi Utomo, Soekarno mengagetkan semua hadirin dengan penolakannya mempergunakan bahasa Jawa kromo. Sebagai penganut Jawa Dwipa (gerakan untuk menghapuskan pemakaian tingkatan bahasa Jawa) yang lahir di Surabaya, ia menolak pemakaian tingkatan-tingkatan bahasa, Soekarno memakai bahasa Jawa ngoko (rendahan). Dengan jelas, Soekarno mau menghilangkan kedudukan elitisnya atau menghapuskan elitisme. Populisme Soekarno terlihat juga pada tulisannya tahun 1921, ketika perkumpulan-perkumpulan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan lain-lain merencanakan persatuan. Ini dianggapnya tak berguna. Soekarno menulis untuk mempertanyakan kegunaan mengejar cita-cita yang muluk-muluk.” Para intelektual harus memikirkan nasib rakyat” Sikap ini memang sangat berlainan dengan sikap-sikapnya di kemudian hari untuk menggalang persatuan. Akan tetapi, mungkin yang terakhir ini adalah hati nurani Soekarno yang sebenarnya” “ pikirkanlah nasib rakyat “. ( Onghokham, 2009 : 3 – 6 )

Klik Selanjutnya…

Tinggalkan komentar