Soekarnoisme, Sejarah dan Masa Depan

Adapun teori Marxisme sudah berubah
Soekarno

Dalam konteks politik Indonesia modern hingga hari ini. Soekarno menduduki paling tidak tiga status istimewa yang bisa diperkirakan tidak akan bisa dicapai oleh pemimpin manapun di Indonesia. Pertama, Soekarno menjadi insitusi politik yang mampu mempersuai terbentuknya sebagai jaringan sistem ideal kelembagaan imaginer di kalangan sebagian besar masyarakat Indonesia. Kedua, sebagai pemikir yang gagasan-gagasannya tetap menjadi pusat perdebatan di berbagai kalangan. Ketiga, sebagai ideologi dan sekaligus ideolog yang mampu merumuskan gagasan tentang: ”good society“ yang ingin direngkuh Indonesia dan bagaimana mewujudkan.

Sebagai sebuah inistusi politik (figur yang telah melembaga sebagai insitusi), Soekarno terlibat sangat intens dalam konflik dan koalisi dengan berbagai kekuatan politik lainnya. Persaingan dan kerja sama dengan insitusi-insitusi politik lain berlangsung terus sepanjang sejarah politik Indonesia. Sejarah sosial politik Indonesia mengungkapkan secara baik bagaimana Soekarno berada dan menjadi bagian yang permanen dari pergulatan politik di sepanjang sejarah Indonesia hingga berakhir masa kekuasaannya di tahun 1965. Lebih dari sekedar menjadi bagian dari proses dialektika politik Indonesia, Soekarno telah menujukkan kemampuannya yang luar biasa sebagai insitusi yang bisa bertahan sangat panjang, melebihi keberadaan partai politik, termasuk Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Sejarah menunjukkan, diperlukan insitusi sekuat tentara untuk bisa menyudahi peran Soekarno sebagai insitusi politik. Inipun tidak pernah berakhir tuntas, karena romatisme terhadap Soekarno sebagai insitusi politik tak pernah mati di sebagian besar warga masyarakat. Pengerangkengan PNI sebagai simbol kelembagaan langsung dari Soekarno ke dalam PDI yang dilakukan Orde Baru ternyata tidak sepenuhnya mampu memudarkan Soekarno sebagai insitusi.

Politik Orba terhadap Soekarno, dengannya telah mampu memporak-poranda Soekarno sebagai insitusi. Hanya saja hal itu tidak secara otomatis bermakna berakhirnya Soekarno sebagai pemikir politik dan ideologi. Soekarno bukan saja terus bertahan sebagai pemikiran politik dan ideologi, tapi dari waktu ke waktu mendapatkan impor energi yang semakin besar dari kegagalan Orba merumuskan ideologi bagi Indonesia yang ingin mereka bangun. Proses deideologisasi berskala massif yang dilakukan Orba bukan saja berakhir mengecewakan, tapi justru memberikan energi yang luar biasa bagi terus bertahannya Soekarno sebagai ideologi. Soekarnoisme muncul sebagai jargon yang melahirkan “teror“ dan “ketakutan“ di kalangan penguasa, dan sebaliknya melahirkan harapan di kalangan massa akar rumput. Pada aras ideologi ini, kita mencatat perseteruan serius antara pragmatisme Orde Baru dengan gagasan-gagasan ideologis yang diturunkan dan berakar pada pemikiran Soekarno dan Islam politik.(Lay,vii—xv)

Tanggal 21 Juni 1970, Soekarno telah berpulang ke Rahmatullah. Soekarno adalah manusia yang memiliki vitalitas mengagumkan; manusia yang penuh kontroversi dalam kepribadiannya dan telah menimbulkan pendapat-pendapat yang kontroversial di kalangan bangsanya; manusia yang sarat oleh idealisme; manusia yang memiliki kelebihan-kelebihan besar dibandingkan manusia biasa, tetapi sekaligus memiliki juga kekurangan-kekurangan yang justru pernah meruntuhkan benteng kebesarannya. Sejak kecil hidupnya diabadikan kepada bangsanya. Berpuluh-puluh tahun dia mengabdi. Dia telah memasuki bermacam-macam penjara. Nasionalisme yang membakar jiwanya, menyebabkan dia menjadi hantu yang ditakuti kaum penjajah, menjadi singa yang mampu mengobrak-abrik kubu pertahanan musuh Kemampuan retorikanya menggetarkan hati pendengarnya. Kelancaran bahasanya dan kemampuannya untuk berbicara dalam bahasa rakyat telah mempersonakan massa pejuang kemerdekaan dan sebaliknya seperti suara setan bagi lawan-lawannya. Tidak ada teori-teori atau faham-faham politik yang pelik dan sukar dimengerti bila sudah sampai pada lidah Soekarno. Soekarno adalah pengagum Karl Marx dan kehausan jiwanya terpenuhi oleh ajaran-ajaran Marx. Tapi dia sekedar pengagum Marx. Nasionalisme telah mendasari jiwanya sejak kecil dan agama Islam yang dijumpainya di masa remaja telah ikut membentuknya. Itulah kontroversi-kontroversi manusia Soekarno. Dan kegemarannya akan agitasi plus kecenderungannya memandang persoalan hanya dalam garis besar merupakan faktor-faktor kontroversi dalam ide-idenya tidak terselesaikan dan gagal menemukan sintesa dari paham-paham yang dikaguminya (Wahib: 233—234). Salah satu tulisan utama yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno muda itu adalah tulisannya yang terkenal berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, yang diterbitkan pada tahun 1926/1927 dalam koran Soeloeh Indonesia Muda itu, sikap anti-kolonialisme dan imperialisme tersebut tampak jelas sekali.

Nasionalisme

Melalui tulisan berserial itu, Soekarno menegaskan, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka. Motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi. Sebagai sistem yang motivasi pokoknya adalah ekonomi. Soekarno percaya, kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itulah kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi orang atau bangsa-bangsa lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme ini pulalah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang dalam salah satu kegemaran Soekarno disebut sebagai “Exploitation de l’ homme par l’ homme“ (Wardaya: 38—39)

Langkah yang diperlukan menurut Soekarno dalam menentang kolonialisme dan imperialisme itu adalah menggalang persatuan di antara para aktivis pergerakan. Dalam serial tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme “ itu, ia juga menyatakan bahwa sebagai bagian dari dari upaya melawan penjajahan itu tiga kelompok utama dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia—yakni para pejuang Nasionalis, Islam dan Marxis—hendaknya bersatu. Dalam persatuan itu, nanti, mereka akan mampu bekerjasama demi terciptanya kemerdekaan Indonesia. “Bahtera yang akan membawa kita kepada Indonesia Merdeka,” ingat Soekarno, ”adalah Bahtera Persatuan.”

Kepada para aktivis Nasionalis, Soekarno menegaskan bahwa tidak ada halangan bagi kaum Nasionalis untuk bekerja sama dengan para aktivis Islam dan Marxis. Kepada para aktivis Islam Soekarno menghimbau supaya mereka mau bahu-membahu dengan para aktivis Marxis untuk bersama-sama berjuang melawan kapitalisme. ”Kaum Muslim tidak boleh lupa bahwa kapitalisme, musuhnya Marxisme, adalah juga musuhnya Islam,” tulisnya. Sementara itu kepada kaum Marxis, ia mengingatkan bahwa di Asia taktik-taktik baru Marxis menuntut kerjasama dengan para pejuang Nasionalis maupun Islam. Soekarno muda juga mendorong upaya kaum pergerakan mau belajar dari upaya bangsa-bangsa lain di Asia dalam kerjasama menentang kolonialisme Eropa (Wardaya:47—48).

Klik Selengkapnya…..

Satu pemikiran pada “Soekarnoisme, Sejarah dan Masa Depan

  1. The Founding Father, Pemimpin Besar Revolusi, Paduan Yang Mulia, Presiden Republik Indonesia…
    Jayalah Nusantara, Mercusuar Dunia.. penerus Sukarno, SATRIA PININGIT..

    MERDEKA !!!

Tinggalkan komentar