Persatuan Soekarno

Pusat perhatian alam pemikiran Soekarno sebenarnya bermuara untuk mempersatukan bangsa Indonesia melawan Imperialisme. Dalam usaha ulet untuk mempersatukan semua suku dan lapisan-lapisan masyarakat Indonesia. Dalam satu kesatuan bangsa, Soekarno telah memberikan sumbangan yang paling bernilai. Jika Soekarno berkata bahwa dasar terbentuknya satu bangsa adalah keinginan untuk bersatu, atau demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi bukanlah suatu demkrasi, atau jika ia berkata bahwa imperialisme adalah tingkat terakhir dari kapitalisme yang sedang runtuh, maka dengan itu ia melahirkan pandangan-pandangan merupakan bagian dari keyakinannya. Jika Soekarno berbicara tentang persatuan bangsa, ia melahirkan keyakinan pandangannya sendiri.” Yang menjadi soal ialah bagaimana membina kerukunan, membina persatuan, membina bangsa di antara semuanya, dan dari semuanya.  Untuk mencapai hal ini, maka di samping tiap-tiap suku memberikan sumbangannya yang positif, tiap-tiap suku juga harus menerima sumbangan positif dari suku-suku lain.  Pendeknya, semua suku harus mengintegrasikan diri menjadi satu keluarga besar bangsa Indonesia.” Ini adalah suara keyakinan yang asli dan khas Soekarno.

Untuk terbentuknya suatu bangsa perlu usaha bersama dari golongan Islam maupun komunis, golongan demokrasi sosialis maupun nasionalis, betapa pun besarnya perbedaan-perbedaan yang telah berlangsung lama di antara mereka. Kemungkinan kerja sama yang demikian merupakan ini dari konsepsinya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” yang dimuat berturut-turut dalam tiga penerbitan Indonesia Moeda berturut-turut pada tahun 1926/1927 Usahanya menciptakan persatuan bangsa telah disusun pula dengan daya upaya menciptakan suatu sintesis ideologi. Dalam menjalankan upaya-upaya terdapat beberapa langkah yang jelas. Ketika Soekarno merumuskan“ Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, ia pada dasarnya memaksudkannya sebagai suatu strategi. Menghadapi kekuasaan kolonialisme Belanda, adalah sesuatu yang wajar dan sederhana jika kaum komunis dan golongan Islam harus menyusun barisan kekuatan dan bekerja sama di bawah panji-panji nasionalisme. Dari pemikiran usaha kerja sama ini, Soekarno tersentuh oleh harapan kemungkinan bisa dipersatukan berbagai aliran keyakinan yang berbeda-beda, sehingga tercipta suatu keterpaduan yang dapat diterima dengan jalan saling memberi karena tidak ada lagi pilihan. ( John D Legge, 1986 : 390 – 401 )

Menurut Ruth McVey, sebenarnya pembahasan Soekarno mengenai “ Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” ditujukan kepada rekan-rekan sesama pemimimpin di dalam gerakan kemerdekaan. Dalam hal ini, Soekarno tidak berbicara kepada penduduk desa yang frustasi maupun kaum proletar radikal yang sempat melancarkan pemberontakan PKI. Soekarno juga tidak berbicara kepada santri pembela Islam, ataupun kepada orang-orang biasa yang tinggal di dalam kota atau dekat kota yang kemudian nantinya bergabung kepada Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam pencarian sebuah orientasi di dunia yang sedang mengalami modernisasi. Soekarno melihat bahwa kelompok-kelompok aliran tersebut memang ada, tetapi dia memandang mereka hanya sebagai pengikut ataupun calon pengikut kelompok elite metropolitan yang menjadi sasarannya.

Esai Soekarno justru ditujukan kepada orang-orang segenerasi yang terlibat dalam kancah perpolitikan – muda, berkomitmen terhadap perjuangan menuju kemerdekaan, dan sudah memikirkan identitas diri mereka dalam kapasitas nasional, bukan regional. Di dalam kelompok kecil itulah, Soekarno melihat dengan jeli sumber pemimpin negara di masa depan; dia juga melihat kelemahan dan pemborosan energi akibat perselisihan terus-menerus, yakni ketika perbedaan personal maupun ideologi berbenturan sehingga berakibat fatal.

Persatuan para pemimpin politik Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang vital bagi perjuangan kemerdekaan, sebagaimana yang diperlihatkan pemerintah Hindia Belanda, dalam upaya menghalangi persatuan tersebut. Namun bagi Soekarno dan orang-orang segenerasinya, persatuan menjadi lebih dari sekedar kunci menuju efektivitas politik. Di mata mereka. perasaan frustasi akibat konflik tiada henti di kalangan mereka sendiri, ditambah dengan konsep politik tradisional dan ide-ide yang dipinjam dari sosialisme memberikan tafsiran tersendiri bagi kita “persatuan“. Kata persatuan memperoleh nilai yang hampir-hampir magis; hanya melalui  persatuanlah kekuatan politik bisa tercapai – tetapi begitu Rakyat bersatu, tidak ada yang tidak mereka atasi. Yang dimaksud dengan “Rakyat“ adalah seluruh masyarakat Indonesia, suatu perwujudan spiritual dari seluruh bangsa.

Soekarno dan rekan-rekannya menolak ketidakpercayaan kaum intelektual terhadap rakyat biasa yang dianggap sebagai musuh dari pencerahan dan justru beragumen bahwa rakyat memiliki keinginan progresif yang akan merespon siapa saja yang memanggil mereka atas nama kebebasan dan masa depan. Istilah Rakyat yang menjadi sejajar dengan istilah proletar di mata Marx ; mereka memang terbuang dan tidak berdaya sekarang, tetapi ditakdirkan untuk mengubah dunia ketika dimobilisasi di dalam sebuah revolusi.

Klik selangkapnya…

Tinggalkan komentar