Soekarno dan Golkar

Pada malam hari, 21 Februari 1957, sejumlah pemimpin politik dan tokoh masyarakat berkumpul di Istana Negara, dan di luar halaman berdesak-desakan masyarakat ibu kota menanti pidato Presiden Soekarno. Pada kesempatan itu Presiden Soekarno ingin menyampaikan sebuah konsepsi dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan yang menimpa bangsa Indonesia akhir-akhir ini.

Melalui pidatonya yang berjudul “Menyelamatkan Republik Indonesia,”  Soekarno mengajukan tiga hal pokok. Pertama, menolak gagasan Demokrasi Liberal dengan alasan bahwa demokrasi semacam itulah adalah bentuk impor dari Barat yang dianggap kurang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Dalam hal itu menyebabkan lajunya pembangunan bangsa dan negara berjalan secara tersendat-sendat. Kemudian memperkenalkan demokrasi yang berdasarkan kepribadian asli Indonesia, yaitu musyawarah untuk mufakat, yang kemudian dikenal dengan demokrasi terpimpin.

Kedua, menginginkan agar dibentuknya kabinet gotong royong yang mewakili semua partai. Hal ini dianggap sebagai penjelasan dari gotong royong yang mewakili semua partai. Hal itu dianggap sebagai penjelmaan dari gotong royong Indonesia. Dan kabinet semacam itu diartikannya dengan menggunakan bahasa Belanda, Alle kinderen van de familie aan enn eestafel en aan werk tafel (Semua makan bersama di satu meja makan dan kerja bersama di satu meja ).

Maksudnya adalah pemerintahan yang berkaki empat, terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan PKI dan kemungkinan besar dibantu oleh wakil-wakil partai kecil, dengan harapan agar kabinet semacam itulah diharapkan meningkatkan persatuan nasional daripada sebuah kabinet koalisi yang senantiasa terganggu akibat adanya oposisi dan umurnya tidak panjang.

Ketiga, mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional. Dalam hal pembentukan ini Soekarno mengambil contoh tindakan Gadjah Mada yang membentuk Andika Bhayangkari untuk menyelamatkan negaranya dari bahaya kehancuran. Andika Bhayangkari adalah suatu pencerminan bersatunya antara pemerintah dan rakyat atau Manunggaling Kawula lan Gusti.

Dewan nasional itu terdiri dari golongan fungsional seperti wakil-wakil buruh, tani, cendikiawan, pengusaha, Islam, Protestan–Katolik, Angkatan Bersenjata, organisasi pemuda, organisasi wanita dan juga wakil-wakil daerah.

Dengan demikian diharapkan Pemerintah dan Dewan Nasional dalam mengambil keputusan selalu mendasarkan diri pada musyawarah untuk mufakat dan tentunya mendapat dukungan seluruh bangsa Indonesia.

Golongan Fungsional

Sebenarnya golongan fungsional ini jauh sebelum kemerdekaan sudah ada. Pada masa kolonial Hindia Belanda, wakil golongan ini duduk dalam Volksraad, yaitu semacam parlemen. Di masa pendudukan Jepang, golongan ini duduk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat, yang mewakili golongan etnis Eropa, Tionghoa, Arab dan 78 wakil buruh dan tani. Pengangkatan wakil-wakil golongan ini sudah menjadi bahan diskusi yang hangat antara KNIP dan Presiden pada waktu itu.

Eksistensi golongan ini diakui dalam pasal 2 (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang mana dikatakan bahwa anggota MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusan-utusan daerah dan golongan-golongan. Hanya saja perkembangan golongan fungsional ini secara bertahap seperti yang terlihat pada Golongan Karya sekarang ini.

Berbicara masalah golongan fungsional berarti tidak dapat tidak membicarakan gagasan Sebenarnya gagasan golongan fungsional telah dikemukakan oleh Soekarno pada tahun 1930-an dalam perdebatan dengan golongan Islam.

“ Seandainya tuan menjadi pemerintah disalah satu negeri yang saya sebutkan tadi, niscaya tuan, menurut kehendak asas demokrasi itu, mengadakan suatu badan perwakilan rakyat yang di situ duduk utusan-utusan dari seluruh rakyat, zonder membeda-bedakan keyakinan. Utusan-utusan dari kaum Kristen, dari kaum yang tiada agama, dari kaum intelktual, kaum dagang, kamu tani, kaum buruh, kaum pelayaran, pendek kata utusan-utusan dari seluruh tubuhnya bangsa, dari seluruh tubuhnya natie?

 

Selengkapnya…..

Tinggalkan komentar